“Ah si Amang, masa dikerjain gini aja udah ngalah sih! Payah lo!” Kudengar suara teriakan dari salah satu temanku di sekolah.

Aku hanya terdiam. Menyikapi hal ini dengan senyuman dan mencoba untuk bersabar menghadapi sebuah rintangan di depan mata.

Ya, pada saat itu aku sedang di keroyok dari banyak murid di sekolah karena nilai ulanganku dapat bagus, untuk sekian kalinya. Aku tahu mereka iri padaku. Tapi bukan begini kan untuk menghargai jerih payah oleh teman sendiri?

Aku percaya bahwa suatu saat nanti aku akan buktikan lagi pada mereka bahwa aku bisa ke Jakarta dan mewujudkan impianku sebagai pengusaha terbesar disana.

Akan tetapi, aku juga selalu merasa pesimis. Tidak tahu harus kemana. Apakah kota Metropolitan alias Jakarta itu akan membantu aku untuk hidup sampai mati?

2 jam kemudian aku pulang ke rumah dalam keadaan remuk. Wajahku penuh dengan pukulan-pukulan dan bekas darah. Lalu Ayahku bertanya, untuk sekian kalinya.

“Muka kamu kenapa lagi, Ama?” Tanya Ayahku sambil mengelus wajahku.

Aku hanya terdiam. Sepatah katapun tidak ku ucapkan. Tapi pada saat waktu yang sama akupun juga tersenyum kepadanya.

“Ayah obati ya, Nak.” Katanya sambil mengantarku ke tempat tidur untuk berbaring.

Rasa sakit di wajahku terasa hingga larut malam. Pada saat itu aku sedang belajar, mengulang pelajaran tadi pagi guruku ajarkan. Setelah itu aku menulis diari setiap hariku.

10 Mei, 2007.

“Hari ini telah mengajarkan bagaimana caranya aku dapat bertahan hidup dengan sebagaimana mestinya. Walaupun dilakukan dengan siksaan. Semoga cobaan-cobaan yang kuhadapi selama ini akan membuat diriku lebih kuat. Aku percaya bahwa suatu saat nanti aku bisa ke Jakarta. Aku tahu Jakarta akan membukakan jalan kepadaku agar aku bisa menjadi kaya dan menjadi orang mampu. Aku pasti bisa!”

Setelah aku menulis diariku, aku mencoba menutupkan mata dan berdoa kepada Tuhan untuk yang terbaik. Semoga impianku tercapai.